Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Mencari Cara Bagaimana Menarik Perhatian Generasi Milenial dan Z?


[Artikel 14#, kategori generasi] Saya sedang berada di Starbuck sabtu siang ini (4/11). Sombong nongkrong di sana? Ah, nggak juga. Saya malah bingung nanti kalau di sana, mengingat sudah sangat lama tidak duduk di sana. Kebenaran ada ajakan bos komunitas Instagram Semarang. Saya tidak dapat menolak ajakannya kali ini. Saya melihat ini kesempatan bagus untuk bersilaturahmi dan ngobrol sesuatu tentunya.

Menyenangkan bisa bertemu tapi juga malu saat bertemu. Dua kali event Instagram di Semarang, saya selalu gagal mengikuti. Entah selalu ada alasan untuk tidak mengikuti meski sebenarnya saya sangat berharap untuk datang.

Komunitas yang indah awalnya

Sebelum bicara panjang lebar alasan bos Instagram Semarang ini ngajak bertemu, kami ngobrol tentang perkembangan komunitas. Saya menyukai kesan pertama dalam berkomunitas. Orang di dalamnya biasanya semangatnya luar biasa, halangan apapun selalu bisa diatasi dan rasa kekeluargaan seakan menjadi dasar komunitas selalu bertahan.

Bos Instagram Semarang pun mengamini curhat colongan saya ini, dan tetap masih bersyukur bahwa komunitasnya masih tetap solid, meski sebagian kecil saja. Ya, saya iri mendengarnya sambil memegang segelas cokelat tanpa terasa sudah serupan terakhir.

Event offline

Sebuah gagasan besar dari bos Instagram Semarang ini diceritakan kepada saya. Ia berharap bisa menyambungkan silaturahmi semua pengguna Instagram di Jawa Tengah untuk kopdar di kota Semarang.

Itu menarik sekali, pikir saya. Tapi baginya tidak mudah dan ia ingin sekali mencobanya. Sepertinya kita tunggu realisasinya saja kalau begitu apakah jadi atau nggak.

Menarik perhatian generasi Milenial dan Z

Permasalahan utamanya adalah ketika membuat event yang dibuat dari kecil dulu, bagaimana menarik perhatian generasi milenial dan Z di era sekarang. Terutama generasi Z yang lebih sulit tentunya.

Saya jadi teringat bagaimana awal membuat acara offline bulanan, awal-awalnya juga sangat buruk. Bayangkan, kata saya kepada si bos yang duduk di depan saya ini. Sudah didukung pemilik tempat, dikasih makan dan minum, yang datang 2 orang. Kejam, bukan?

Tapi saya terus bersyukur hingga sekarang bahwa saya dan yang lain tidak menyerah kemudian setelah melihat buruknya kami mengorganisir sebuah acara. Perlahan-lahan, dari bulan ke bulan, acara saya sukses bisa dihadiri lebih dari 50 orang tiap bulan.

Saya pikir waktu itu kunci utamanya adalah merangkul komunitas untuk menggali informasi sesuai tema yang dikeluarkan tiap bulan. Sangat bangga dan menyenangkan meski orang-orangnya memang sebagian itu-itu lagi. Karena silaturahmi sebulan sekali, itu luar biasa menurut saya.

Sekarang? Entahlah, saya tak punya resep jitu menarik perhatian orang-orang lagi, terutama yang disebut generasi milenial dan Z. Saya sudah berhenti mengajak orang, tapi berusaha mengikuti acara orang.

Merindukan tapi tak ingin datang

Generasi milenial sekarang sebenarnya mudah diorganisir untuk bisa datang dalam sebuah event. Kuncinya, masih menurut pengalaman saya adalah merangkul mereka dengan langsung mengubungi lewat pesan pribadi.

Media sosial memang sangat baik dalam hal pemasaran. Namun untuk hubungan, media sosial belum bisa memberi pengaruh lebih besar dari sebuah pesan pribadi yang diterima seseorang. Rasa menghargai menjadi kunci untuk membalas bagaimana kehadiran mereka berikutnya.

Saya sebenarnya senang bisa bertemu banyak orang, khususnya teman lama. Tapi kadang saya juga yang tidak mau datang bila melihat acara yang berbayar.

Bukan saya tidak menghargai kerja keras pemilik acara, namun saya juga pernah diposisi pembuat acara. Saya lebih senang menghubungkan orang tanpa harus mereka mengeluarkan biaya sepeserpun. Dan saya sangat bekerja keras untuk menegoisasi pemilik tempat agar mau membantu atau harus merogoh kocek dari kantong pribadi. Ya, mengatakan rindu tapi tak pernah datang.

Gambar : Ilustrasi
...

Saya sendiri masih kurang mengerti bagaimana cara menarik perhatian generasi milenial dan Z. Tahun depan sudah masuk tahun 2018, saya berharap sudah bisa memecahkan permasalahan ini beberapa waktu ke depan.

Sangat sulit, pendapat pribadi saya. Tapi bukan berarti tidak bisa dirangkul. Ini soal metode saja. Pasti bisa, asal benar caranya.

Artikel terkait :

Komentar

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin generasi milenial, ternyata saat ini ada loh platform pengembangan dana buat generasi tersebut. Dan katanya sih menguntungkan banget. Selengkapnya, temen-temen bisa cek di sini: pengembangan dana untuk milenial

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh