Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Era Post Truth Society


[Artikel 22#, kategori Internet] Saya baru menyadari istilah post truth saat acara flash blogging yang diselenggarakan Kominfo, minggu kemarin. Salah satu nara sumbernya, Ndorokakung, bicara tentang fenomena yang saat ini menghinggapi masyarakat, baik dunia maupun bangsa kita. Apakah post truth ini?

Gambarannya sederhana sebenarnya. Ya, aktivitas kita yang saat ini kebanyakan dihabiskan di media sosial. Sebagian masyarakat mulai meributkan hal - hal yang sebenarnya, jika dulu menurut Ndorokakung itu biasa, maka yang terjadi sekarang seperti sebuah headline berita yang sangat geger. 

Post Truth Society menurut Najib yang saya kutip dari kanan detikcom (4/8) adalah masyarakat yang tidak mementingkan fakta dalam proses komunikasi sosial. Prefensinya pada kesukaan, bukan kepada kebenaran.

Maka tidak heran saat ini berita hoax menjadi santapan yang sulit dihindari. Mereka mencari yang memuaskan emosi, fakta urusan belakangan.

"Problem sekarang bukan kelangkaan informasi, tapi informasi berlebih. Tsunami informasi sehingga ada problem menyaring informasi yang akurat. Sehingga justru sebagian besar tidak akurat. Dia serap info tidak akurat," Muhammad Najib Azca, Sosiolog Fisipol UGM.

Masalah lainnya adalah tergerusnya kepercayaan kepada institusi negara dan media massa yang selama ini menyediakan informasi. Ada otoritas baru yang memberikan informasi, namun informasinya tidak benar. Akibatnya timbul perselisihan saat berkomunikasi, karena ada sebagian orang berpegangan bukan kepada fakta.

...

Jadi pada intinya, era saat ini ditengah era teknologi dan media sosial yang begitu luar biasa, ada era yang masuk tanpa kita sadari. Kepercayaan tidak lagi didasarkan sesuatu yang berhubungan dengan fakta. Kita menyukai berbagi apapun yang seharusnya dapat memilih dan memilah.

Asal retweet, asal love dan semua didasarkan atas kesukaan tanpa berpikir siapa pengikutnya, dan apa dampaknya. Saya berharap, ini tidak terjadi kepada saya meski saya akui ini tidak mudah.

Mari berusaha mencerna informasi dengan bijak dan baik. Daripada memusingkan apa yang kita bagi, lebih baik kita bicara tentang prestasi dan personal branding yang punya nilai jual dan yang positif.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh