Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Group Facebook yang Mati Suri Ketiga Kalinya



Bukankah ini era baru, dimana hasil perpaduan manusia dan teknologi menjadi kekuatan yang menembus batas ruang dan waktu. Memberikan efisiensi dan saling terhubung dimanapun. Ternyata tidak demikian. Saya dejavu kembali.

Beberapa hari ini saya merenung tentang apa yang salah dengan keinginan saya. Benarkah sekarang eranya teknologi yang memperpendek ruang untuk bertemu dan saling berinteraksi. Atau kita sedang sibuk mengaktualisasi diri, menjual diri, menceritakan kepada dunia bahwa kita baik-baik saja.

Manusia yang pada dasarnya selalu bergantung antara satu dengan yang lain. Manusia saling memberikan dukungan dan kekuatan. Kemana itu semua saat apa yang saya harapkan tidak terjadi disini (grup).

Teknologi mengubah cara manusia berinteraksi dalam banyak hal. Bahkan orang Indonesia adalah orang-orang yang sangat aktif di jejaring sosial melebihi negara-negara di Asia Tenggara. Mengapa masih kurang juga menurut saya?

Dejavu

Pemikiran sempit ini muncul lagi. Bagaimana dulunya saya mencoba mempertahankan sebuah grup untuk selalu ramai ternyata sepi. Bahkan, untuk mereka yang disebut keluarga sekalipun. Grup dotsemarang seperti kuburan. Entahlah, kemana orang-orangnya waktu itu. Dan akhirnya saya membiarkan mati perlahan-lahan.

Saya tak mau berhenti untuk memberikan motivasi kepada diri saya sendiri. Oke, dotsemarang bubar grupnya. Ganti namanya menjadi grup blogger Semarang. Sial, nasibnya sama saja. Penghuninya sepi lagi. Padahal melihat mereka ada di timeline baik facebook dan twitter saya kok jadi sedih sendiri.

Dan ini mungkin akan segera terjadi lagi. Grup Kopdar Semarang sepertinya tidak berguna lagi. Interaksi yang diharapkan ternyata tidak mewakili apa yang dinamakan manusia digital saat ini. Terhubung tanpa batasan waktu dan tempat. Saling membutuhkan dan memberitahukan.

Bila ada pun, malah berbagi tautan blog yang semua grup yang ada di facebook dibaginya. Saat dikomentarin, tak ada jawaban. Emang dikira grup ini tempat iklan??

Saya dejavu lagi. Sudah waktunya saya harus membunuh perasaan peduli ini dengan sekitar. Mereka rasanya sudah dewasa untuk memaklumi. Saya bosan memberi dan mulai berinteraksi. Alasannya, setelah saya diam hingga seminggu atau sebulan, grup sepi. Saya gagal membangun jiwa disana.

Brotherhood

Saya sangat suka dengan konten marketing yang banyak mengulas sisi teknologi khususnya. Salah satu artikel yang saya baca adalah tentang brotherhood.

"Jika merek Anda sudah menjadi bagian persaudaraan, maka mereka pun bisa memahami kesusahan dari merek Anda"

Yang saya tangkap adalah saya berusaha membangun tali persaudaraan dengan semua orang lewat online dan offline. Ternyata saya tetap gagal. Tidak ada yang memahami tentang keresahan saya arti dari persaudaraan yang saling membutuhkan dan berinteraksi satu sama lain.

Mungkin ini alasan grup facebook sudah harus saya tutup kembali

Tidak ada cinta

Mencintai memang tidak mengharap balasan. Begitulah cinta. Tapi yang ingin saya harapkan adalah kita saling mencintai. Berbagi apa pun dan semua saling membutuhkan. Bukan selalu disuapin dan kamu datang.

Platform yang usang

Saya pikir grup facebook adalah platform yang usang. Ternyata grup whatsaap termasuk. Orang-orang yang membangun ternyata tetap tidak ada. Sama saja. Tergantung orangnya saja.

Datang sebagai tamu

Mungkin ini karna grup bukan komunitas. Tapi sama saja sih. Orang-orang yang datang sebagai tamu dan ingin melihat seperti apa dalamnya, setelah puas mereka langsung pergi. Sekedar mengamati saja apa yang terjadi.

Hanya ikut-ikutan

Padahal sisi ofline saya geber terus untuk saling berinteraksi. Hey, saya benar-benar lelah memikirkannya. Yah, saya mengamati tipe orang-orang yang pendiam ternyata mereka hanya ikut-ikutan saja. Ngapain peduli dengan semua yang terjadi. Kalau menarik, baru saya nimbrung lagi.

...

Maaf saya selalu mengeluh dengan ini dan itu-itu saja. Tentu saya seperti orang membosankan. Apakah ini efek saya karena begitu mencintai atau karena rasa peduli. Entahlah.

Saya ingin berbagi sedikit buat mereka yang berusaha membangun grup percakapan di media sosial. Inilah potret yang terjadi terhadap saya. Tapi ini tidak mewakili masyarakat seluruhnya. Hanya 1 banding 10 mungkin.

Dengan adanya masalah ini, seharusnya bisa jadi bahan pelajaran dan ukuran buat teman-teman yang berusaha ingin membangun interaksi lewat grup. seperti facebook, yang saya lakukan, Atau whatsapp maupun line.

Semua kembali ke diri masing-masing dan cobalah memaklumi ini semua di era sekarang. Jadi jangan heran, melihat seisi grup sibuk update diluar grup, bercerita dan berbagi namun tidak terjadi di dalam.

Salam blogger

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh